5 Nama Permainan Tradisional Bugis Makassar dan Filosofinya

permainan tradisional bugis makassar

Update Terakhir: 17 Januari 2024 oleh Adha Susanto

Estimasi waktu baca: 6 menit

Di Pulau Sulawesi, khususnya orang Bugis Makassar memiliki beragam permainan tradisional yang berkembang berdasar kondisi sosial budaya dan ekonominya.

Nah, apa saja permainan tradisional yang berkembang di kehidupan masyarakat Pulau Sulawesi tersebut?

Simak informasinya sampai akhir, ya!

Baca Juga: 3 Permainan Tradisional Papua dan Cara Bermainnya

Permainan tradisional orang Bugis Makassar

Selain menghadirkan kegembiraan bagi para pemain dan penontonnya. Permainan tradisional yang berkembang di Nusantara juga menyampaikan sebuah filosofi berdasar kehidupan masyarakat.

Demikian pula pada lima contoh permainan yang berkembang di orang Bugis Makassar berikut ini.

Marraga atau akraga

Permainan tradisional Bugis satu ini sudah ada di masa kerajaan. Bahkan menjadi salah satu agenda wajib pada kegiatan upacara kerajaan, pernikahan, dan acara tradisional lainnya.

Berdasar penamaannya marraga atau akraga berasal dari peralatan utama yang mereka sebut sebagai raga.

Dalam bahasa Bugis Makassar, raga ialah istilah dari siraga-raga yang berarti saling menghibur. Pasalnya, permainan akraga memang terfungsikan sebagai sarana hiburan dan media bersosialisasi masyarakat setempat. Khususnya bagi para pemuda sebagai pemain.

Nah, konon katanya, permainan tradisional akraga bukan sembarang permainan. Bagi pemuda Bugis Makassar permainan ini menjadi syarat sebelum menikah.

Seorang pemuda yang belum lihai bermain akraga belum boleh menikah. Oleh karena itu, pemuda setempat terdorong untuk bisa menguasai permainan akraga dengan baik sebagai syarat untuk menikah.

Cara bermain

Tidak jauh berbeda seperti bermain sepak takraw yang saling mengoper bola ke pemain lainnya.

Permainan tradisional akraga mengedepankan keindahan dengan menggunakan bagian tubuh meliputi kaki, paha, perut, dada, dan tangan.

Namun, yang menjadi catatan adalah tidak boleh memegang raga menggunakan kedua telapak tangan selama permainan berlangsung.

Untuk menambah nilainya sebagai permainan yang menghibur, permainan ini pun teriringi suara dari alat musik gendang.

Baca Juga: 3 Contoh Permainan Tradisional yang Mendidik

Maccuke atau accangke

Permainan tradisional Bugis Makassar selanjutnya yang tidak asing bagi anak-anak Nusantara adalah maccuke/accangke.

Dalam bahasa Bugis mereka mengenalnya sebagai cukke, sedangkan bahasa Makassar menyebutnya dengan nama cangkek.

Namun, merujuk pada satu permainan yang jika terjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah ungkit.

Nah, berdasar cerita rakyat daerah Makassar yang agraris dan tidak jauh dari kegiatan mengolah tanah. Permainan cukke yang berarti mengungkit ini pun menggambarkan sebuah simbol penamaan benih yang kemudian bercambah. Setelah bercambah akan tumbuh, berkembang, dan membuahkan hasil.

Tak hanya melambangkan secara agraris, permainan tradisional Bugis Makassar satu ini pun menyiratkan sebuah makna dari usaha keras. Maksudnya, sebuah hasil yang memuaskan tidak akan kita peroleh tanpa ada usaha yang keras pula.

Secara filosofi permainan ini menggambarkan sebuah kehidupan agraris dan perjuangan meraih hasil. Tapi, seiring perkembangannya, permainan ungkit sudah tidak begitu populer.

Pasalnya, permainan ini mempunyai resiko yang bisa membuat bagian tubuh cacat jika tidak berhati-hati. Oleh karena itu, tidak sedikit orang tua mau mengijinkan anaknya bermain maccuke.

Cara bermain

Mengungkit dan memukul sekuat mungkin ialah dasar dari permainan ini.

Kayu utama untuk mengungkit dalam permainan tradisional Bugis mereka sebut dengan nama indok cukke. Sedangkan kayu dengan ukuran lebih pendek mereka sebut dengan nama anak cukke.

Anak cukke yang berada dalam posisi melintang dalam sebuah lubang kecil untuk menyungkit. Kemudian induk cukke akan mengungkit anak cukke lalu memukulnya dengan keras.

Baca Juga: 4+ Permainan untuk Melatih Kesabaran Anak

Maggaleceng atau Aggalacang

Sangat lekat dengan sosial budaya masyarakat Bugis pada zaman dulu, yakni sebelum masuknya agama Islam.

Orang Bugis menyebutnya maggaleceng, sedangkan orang Makassar menyebutnya dengan aggalacang. Permainan tradisional ini pun termasuk salah permainan keluarga bangsawan pada masanya.

Pasalnya, dahulu permainan ini hanya termainkan sebagai sarana hiburan pada saat berjaga orang meninggal di malam hari.

Karena termasuk dalam salah satu permainan tradisional bangsawan. Permainan ini hanya boleh berlangsung pada saat keluarga raja sedang berkabung, yang dimainkan hingga pemasangan batu bata dan nisan kuburan.

Nah, konon katanya permainan tradisional ini menurut orang Bugis Makassar adalah permainan sakral, karena hanya boleh berlangsung pada hari-hari tertentu saja.

Bermain maggaleceng pun tidak boleh di dalam rumah keluarga yang sedang berkabung, sebab bisa mendatangkan musibah.

Dalam perkembangannya, permainan maggaleceng mulai tergantikan dengan acara keagamaan. Tepatnya pada saat agama Islam masuk di kehidupan masyarakat Bugis, kegiatan berjaga orang meninggal tergantikan dengan acara pengajian.

Cara bermain

Maggaleceng atau aggalacang adalah permainan dengan alat dan cara bermain yang sederhana.

Pasalnya, permainan ini sama dengan permainan tradisional Jawa, yaitu congklak.

Karena tidak berbeda dari permainan congklak. Maggaleceng merupakan sebuah permainan yang memindahkan bola atau kelereng dari lubang ke lubang dengan dua buah lubang sebagai gunung.

Jumlah lubang dalam satu papan sebanyak 12 buah, dua lubang sebagai gunung, dan lima lubang dibuat dua baris saling berhadapan.

Sebanyak lima bola yang diambil dari satu lubang akan berkeliling ke setiap lubang hingga habis. Ketika bola habis pada salah satu lubang, maka bola selanjutnya berasal dari lubang yang berisi bola terakhir. Demikian pula seterusnya.

Maggale atau Aggale adalah permainan tradisional Bugis Makassar

Dengan memanfaatkan batok kelapa kering dan kuat, pemain akan saling berkompetisi untuk memenangkan permainan maggale.

Maggale adalah permainan tradisional yang akrab pada orang Bugis sebagai permainan untuk mengisi waktu sesudah panen atau sedang senggang.

Permainan ini pun lebih menggambarkan keadaan sosial budaya, ekonomi, dan potensi alam sekitar masyarakat. Maka itu, permainan maggale dimainkan oleh semua kalangan masyarakat sebagai sarana hiburan, melatih kecerdasan, dan kelihaian.

Cara bermain

Dua tempurung kelapa kering yang kuat sebagai alat utama permainan dibuat dalam dua kondisi berbeda.

Satu tempurung kelapa dalam kondisi berlubang sebagai pattabbak untuk dilontarkan. Dan satunya dalam keadaan utuh tanpa lubang sebagai pasangan saat lawan bermain.

Sebelum bermain, dua kelompok pemain yang terdiri hingga dua orang satu kelompoknya harus mengundi siapa yang akan bermain dulu.

Kelompok yang bermain lebih dulu ialah kelompok yang tempurung kelapanya dalam posisi tengadah atau terbuka sesudah saling memukul berhadapan.

Kelompok yang tempurung kelapa tertelungkup atau menutup ke bawah harus memasangkan tempurung pasangannya di tempat berbeda.

Jalannya permainan tradisional Bugis ini pun berlangsung saat kelompok pemain mulai menggaet tempurung yang berlubang menggunakan tumit kaki.

Gaetan tempurung kelapa akan dipasangkan pada tempurung pasangan milik lawan yang berada di tempat berbeda dari garis awal gaetan.

Baca Juga: 3 Permainan Pramuka untuk Meningkatkan Kekuatan

Mallanca

Berasal dari kata lanca, yang berarti menyepak dengan menggunakan tulang kering, yang sasarannya ialah ganca-ganca, yakni bagian kaki diatas tumit. Permainan mallanca menjadi satu di antara permainan tradisional yang favorit bagi masyarakat Bugis.

Tak hanya terlangsungkan pada waktu senggang, mallanca menjadi permainan yang terselenggara dalam pesta-pesta adat. Dan hanya berlangsung pada kalangan budak (ata’).

Pada mulanya mallanca hanya sekedar hiburan bagi kalangan bangsawan. Kemudian berkembang, dan menjadi permainan oleh masyarakat luas.

Itulah uraian singkat lima contoh permainan tradisional orang Bugis Makassar. Serta masih banyak lagi permainan tradisional lainnya dengan nama berbeda.

Baca Juga:

Sumber Gambar Unggulan: Ditjen Kebudayaan Republik Indonesia

About Adha Susanto

Senior Rover Scout of Diponegoro University

View all posts by Adha Susanto →